Jakarta | medansumutpos.id
Denny Indrayana Menyikapi Sikap MK yang telah Memutuskan perkara batas usia Capres dan Cawapres.
Negara hukum Indonesia akan saat ini benar-benar masuk ke dalam jurang mematikan yang teramat dalam.
Figur utama yang paling bertanggung jawab dengan keterpurukan itu adalah Presiden Jokowi. Tentu, Jokowi tidak sendirian melakukan kesalahan.
Tetapi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Jokowi punya segala resources, serta Nakhoda yang menentukan arah politik-hukum perjalanan bangsa.
Sejauh ini, Jokowi telah membawa Indonesia ke pinggir jurang negara tanpa hukum (lawless state). Dimana hukum direndahkan kewibawaannya, dilecehkan logikanya, dan dihinakan akal sehatnya.
Jokowi mengawalinya dengan membiarkan pelemahan KPK, melalui tiga gelombang tsunami yang mematikan.
Satu, dengan kekuatan legislasi Presiden, dan kekuatan koalisi mayoritas mutlak parpol-parpolnya di DPR, Jokowi membiarkan pelumpuhan KPK melalui perubahan UU KPK, yang menyebabkan KPK hidup enggan mati tak mau.
Dua, melalui pansel yang dibentuknya, Jokowi memilih Pimpinan KPK yang bermasalah secara etika, bahkan belakangan diduga melakukan tindak pidana pemerasan.
Tiga, Jokowi membiarkan para pejuang KPK yang sebenarnya dipecat melalui rekayasa Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), yang amat bermasalah.
Akibatnya sangat dahsyat. KPK bukan lagi lembaga pemberantasan korupsi, tetapi berubah 180 derajat menjadi lembaga yang diduga pimpinannya melakukan pemerasan atas kasus korupsi. Ironis dan tragis!
Pastinya, Jokowi tidak bisa lepas tanggung jawab, karena Pimpinan KPK yang sekarang bermasalah secara etika dan disinyalir koruptif adalah hasil dari pansel yang dibentuknya sendiri.
Setelah KPK dilemahkan, Jokowi pun membiarkan Mahkamah Konstitusi dilumpuhkan. Bukan hanya membiarkan MK bersalin rupa menjadi Mahkamah Keluarga, dengan Ketua MK yang menjadi iparnya.
MK pun dibiarkan rusak kemerdekaannya, melalui pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto, karena memutuskan batal (secara bersyarat) UU Ciptaker.
UU yang dibangga- banggakan Jokowi sebagai salah satu maha karyanya.
MK yang sekarang ada, sayangnya bukan lagi MK yang berwibawa dan merdeka.
Putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK jelas problematik, dan kental upaya kontrol atas penanganan kasus korupsi menjelang Pilpres 2024.
Putusan UU Ciptaker yang terakhir, merusak logika kewarasan konstitusi, karena mencari-cari dasar argumen tentang kegentingan yang memaksa, tanpa persetujuan DPR atas perpu pada masa sidang DPR berikutnya.
Dengan kadar kualitas ”Negarawan” yang semakin merosot, tidak mengherankan jika Ketua MK Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari penanganan permohonan syarat umur capres-cawapres.
Saya telah secara resmi mengajukan laporan dugaan pelanggaran etika itu pada 27 Agustus 2023, dan hingga kini tidak ada kabar tindak lanjutnya.”
“Padahal, adalah fakta sosial yang tidak terbantahkan bahwa, uji konstitusionalitas syarat umur itu berkaitan langsung dengan potensi keluarganya, yaitu Gibran Jokowi, untuk menjadi kontestan dalam Pilpres 2024.
Di seluruh belahan dunia manapun, adalah aturan etika baku, hakim harus mundur jika perkara yang ditanganinya berkaitan langsung dengan keluarganya.
Bahwasanya hakim konstitusi yang lain pun membiarkan, alias tidak mendorong mundurnya Ketua MK Anwar Usman, menunjukkan ada persoalan etika yang akut—mungkin didasari ketakutan—pada mayoritas jajaran hakim konstitusi, tentu tidak semuanya.
Padahal, adalah fakta sosial yang tidak terbantahkan bahwa, uji konstitusionalitas syarat umur itu berkaitan langsung dengan potensi keluarganya, yaitu Gibran Jokowi, untuk menjadi kontestan dalam Pilpres 2024.
Bahwasanya hakim konstitusi yang lain pun membiarkan, alias tidak mendorong mundurnya Ketua MK Anwar Usman, menunjukkan ada persoalan etika yang akut—mungkin didasari ketakutan—pada mayoritas jajaran hakim konstitusi, tentu tidak semuanya.
Jangan salah, saya tidak menutup hak Gibran Jokowi untuk berpolitik. Ataupun menutup hak politik keluarga Jokowi yang lain, apakah Ketua Umum (kilat) PSI Kaesang Pangarep, ataupun sang mantu Walikota Bobby Nasution.
Analisis Denny Indrayana Soal Putusan MK Terbukti Nyata: Gibran Berpeluang Jadi Paslon Pilpres 2024
Persoalannya, saya mempercayai prinsip meritokrasi dalam berpolitik.
Saya tidak yakin, Gibran, Kaesang, dan Bobby mendapatkan posisi politiknya karena kapasitas dan integritasnya, tetapi lebih karena—permisi saya gunakan bahasa jujur, rekayasa politik yang dilakukan Jokowi dan kroni pendukungnya.
Bahkan, dari membaca dokumen yang ada, saya juga meyakini, bahwa modal usaha bisnis kuliner Gibran dan Kaesang, punya persoalan jika dilihat dari kacamata antikorupsi.
Karena, sebagaimana laporan Ubedilah Badrun, terendus merupakan gratifikasi dari oligarki bisnis yang—lagi-lagi dalam bahasa terang: membeli pengaruh politik dengan menyuap keluarga Jokowi, melalui bisnis anak-anaknya.
Putusan MK, itu layak dikritik keras, karena merusak kewarasan konstitusi, dan menguatkan MK telah bersalin rupa dari penjaga konstitusi menjadi penjaga the family and dynasty Jokowi (Red)