Sumut | medansumutpos.id
Oleh : Zulkarnain, M.Sos
Sulit menemukan alasan yang tepat untuk membenarkan langkah politik Prabowo. Tindakannya menggandeng Gibran menuai sorotan dan penolakan dari berbagai pihak. Bukan hanya karena Gibran masih terlalu hijau dalam politik, tetapi proses pencalonannya dengan menabrak berbagai aturan yang mengundang prahara di Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan tindakan memalukan yang hanya mungkin dilakukan oleh politisi demagoge. Belum lagi, Gibran bukanlah kepala daerah yang berprestasi.
MNC Asia Holding Tbk pada 22 September 2022 lalu, melalui Komisarisnya Agung Firman memberikan penghargaan kepada 7 Wali Kota berprestasi di berbagai bidang dengan tajuk: Kepala Daerah Inovatif (KDI). Ada nama-nama beken seperti Yana Mulyan Wali Kota Bandung, Muhammad Lutfi Wali Kota Bima, Mohammad Ramdhan Wali Kota Makasar, ketiganya meraih penghargaan di bidang pelayanan publik. Ada juga Ika Puspitasari Wali Kota Mojokerto, Taufan Pawe sebagai Wali Kota Pare-pare, Hendrar Pribadi Wali Kota Semarang, sama-sama meraih anugerah katagori pariwisata. Sedangkan Wali Kota Mataram Mohan Roliskana meraih anugerah di bidang ekonomi. Tidak ditemukan nama Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo dalam deretan nama pejabat berprestasi tersebut. Pertanyaannya, mengapa Prabowo memilihnya?
Usia muda bukan penghalang untuk menjadi pemimpin. Raja Henry VI diangkat jadi Raja Inggris di usia Sembilan bulan menggantikan ayahnya. Ada juga Alfonso XIII dinobatkan sebagai Raja Spanyol tepat pada hari dia lahir dan memerintah di usia 26 tahun. Selanjutnya ada Shah Shapur II dinobatkan sebagai raja Persia saat bayi dan memerintah di usia 16 tahun. Demikian juga yang masih muda, ada nama Pu Yi kaisar China. Mereka berkuasa sangat muda pada masanya. Tetapi Indonesia bukanlah sebuah kerajaan. Melainkan negara republik yang eksis di era modern. Maka ketika merumuskan undang-undang penetapan usia Capres-wacapres, batas usia 40 tahun merupakan penegasan tentang syarat kematangan emosional dan pengalaman yang cukup di bidang pemerintahan.
Yang jadi soal dalam skandal politik ini, sesungguhnya bukan Gibran, tetapi Prabowo, pemilik hak maju sebagai Capres. Ambisinya untuk mencapai puncak kekuasaan yang sudah di ubun-ubun menyebabkan yang bersangkutan menjadi manusia kurang rasional. Tidak ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai alasan memilih Gibran, selain persoalan sumber daya yang dimiliki presiden. Prabowo sangat memahami betul fakta ini. Pengalamannya saat dikalahkan oleh Jokowi sebagai Capres petahana pada Pilpres tahun 2019, sungguh sangat menyakitkan.
Ketika melawan Prabowo, Jokowi nyaris menggunakan seluruh sumberdaya negara untuk meraih kemenangan. Dan hari ini, Prabowo ingin memanfaatkan hal yang sama dengan menggaet Gibran. Baginya masa bodoh tudingan orang, yang penting menang. Atau mungkin juga scenario ini merupakan bagian dari sekian komitmen yang disepakti antara pihak Jokowi dan Prabowo ketika berdamai pada konflik hasil Pilprs 2019 lalu. Sebab langkah politik tidak lah muncul tiba-tiba. Ada benang merah yang dijadikan titik awal scenario untuk sampai menjadi sebuah keputusan politik. Kalau skenario ini betul adanya, maka cawe-cawe atau hiruk-pikuk yang terjadi di panggung politik nasional hanyalah sandiwara politik belaka.
Sepanjang sejarah bangsa seiring waktu berjalan, tokoh-tokoh politik tidak mungkin mengelak dari usia yang semakin menua. Dan faktor ini yang menjadi kendala berarti bagi Prabowo. Di usai menginjak 72 tahun, kekuatan fisik dan kesehatannya berpotensi kian hari semakin menurun. Bahkan peneliti ISEAS, Yusof Ishak Institute Singapura, Made Supriatma menyebut Prabowo pernah dua kali kena stroke. Kondisi tersebut tentu tidak sebanding dengan beban kenegaraan yang dipikul seandainya terpilih jadi presiden, terlalu beresiko. Bila di tengah jalan dia sakit Gibran yang mengambil alih kekuasaan. Semua khawatir melihat Gibran yang minim pengalaman.
Gibran Rakabuming Raka yang minim dalam segala hal diragukan mampu memimpin di tengah berbagai persoalan kenegaraan yang pelik. Adanya tarik menarik kepentingan elit senior partai politik serta berbagai ambisi terhadap kekuasaan akan sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan. Belum lagi tumpukan hutang yang menggunung mendekati angka delapan ribu trilyun peninggalan sang ayah. Segudang masalah lain seperti angka kemiskinan, bayi stunting, pengangguran yang sangat tinggi, lapangan kerja yang sulit, imigrant illegal, penambangan liar, pembalakan hutan, deforestasi, krisis energy, pangan, dan bertumpuk problem lainnya.
Di tingkat global tantangan geo-politik Indonesia terkait persaingan ketat antara Amerika dan China yang kini bergeser ke Asia-Pasifik. Dua negara adidaya ini tidak saja mempengaruhi dominasi ekonomi dunia, tetapi ancaman serius terhadap perebutan sumber daya alam Indonesia yang kaya. Menurut Menkeu Sri Mulyani, Ketegangan geopolitik ini menciptakan perubahan signifikan terhadap kebijakan ekonomi. Begitu juga kecepatan perekembangan teknologi Artificial Inteligence (AI) di satu sisi membawa manfaat efisiensi produksi namun berdampak pada penghematan tenaga kerja, privasi dan keamanan siber.
Selanjutnya perubahan iklim (climate change) berdampak pada mitigasi dan adaptasi oleh negara maju yang mempengaruhi negara berkembang seperti Inflation Reduction Act (IRA) di Amerika Serikat dan Carbon Border Adjusment Mechanism (CBAM) di Uni Eropa. Dan terakhir wabah covid-19 masih menjadi ancaman yang membutuhkan kewaspadaan.
Semua tantangan tersebut membutuhkan figur cerdas, intelek, dan berpengalaman yang tidak terlihat pada sosok Gibran. Seharusnya Prabowo dan para pengusungnya berfikir mendalam sebelum menentukan pilihan. Tidak hanya mengutamakan kepentingan kelompok semata. Karena keputusan tersebut menyangkut hidup jutaan manusia. Tidak ada strategi coba-coba dalam menentukan Cawapres sebab sangat riskan. Dua pasangan lain tidak disorot karena menentukan Cawapres lebih rasional. Orang masih positif terhadap Cak Imin dan Mahfud, dua tokoh berpengalaman dan matang. Sebaliknya sangat ragu terhadap Gibran.
Sesungguhnya, masalah negara dan bangsa ini bukan dimonopoli oleh kepentingan Prabowo, Gibran, Jokowi, partai Gerindra dan partai pendukung lainnya. Tetapi menyangkut nasib dan masa depan 280 juta penduduk Indonesia. Kesalahan menentukan sikap akan berdampak buruk bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam kondisi ini, para politisi terutama Prabowo diuji apakah bertindak sebagai seorang negarawan. Karena banyak di antara politisi bukan lah seorang negarawan. Tetapi negarawan sudah pasti juga seorang politisi. Untuk kebaikan Indonesia, kita masih dapat berbuat bijak memilih dan memilah calon yang paling tepat secara cerdas dan rasional, bukan hanya mengandalkan emosional.
Binjai, 27 Oktober 2023
Penulis adalah Pimpinan Pusat Majelis Mujahidin dan Pengamat Sosial-Politik