Oleh: Zulkarnain, M.Sos
Perhatian rakyat indonesia saat ini tertuju pada dua hal ;
pertama, perang Hamas Palestina melawan penjajah Israil yang sangat memilukan dengan jumlah korban terutama anak-anak dan warga sipil tak berdosa. Kedua, keputusan MK yang kontroversi. Kedua berita ini menjadi trending topic di media elektronik dan media sosial. Akan tetapi, keputusan MK tentang penjelasan batas usia Capres-cawapres pemilu 2024 jauh lebih popular. Mengapa? Karena berkaitan dengan pusat kekuasaan di lingkungan presiden.
Sebagai presiden Jokowi memang menarik, tidak saja karena kerap mengambil kebijakan politik yang kontroversial, tetapi belakangan keterlibtan sejumlah anggota keluarganya dalam pusaran kekuasaan politik. Rupanya kepopuleran Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia, kini tersaingi oleh putra sulungnya Gibran Rakabuming, setidaknya di jagat media. Dan tidak ketinggalan adik ipar yang juga ketua MK Anwar Usman, belakangan menyusul semakin populer. Belum lagi sepakterjang menantunya Boby Nasution sang Walikota Medan. Dan belakangan putra bungsu Jokowi, Kaesang Panggarep telah dinobatkan sebagai ketua umum PSI, partai yang berkomitmen mendukung kesetaraan terutama hak-hak kaum LGBT. Pendek kata, Jokowi’s Familiy, adalah mega bintang dalam panggung politik Indonesia.
Di antara putra-putri Jokowi, Gibran adalah sosok fenomenal yang paling beruntung. Tidak saja sebagai Wali Kota, belakangan telah dinobatkan sebagai calon wakil Presiden mendampingi Prabowo oleh partai Koalisi Indonesia maju (KIM). Dan hari ini tanggal 25 Oktober, mereka mendaftarkan diri sebagai pasangan Capres-cawapres di kantor KPU Jakarta. Artinya tinggal selangkah lagi Wali kota Solo itu akan bertarung sebagai calon Wakil Presiden termuda dalam sejarah politik Indonesia.
Gibran berbeda dengan Gusdur mantan Presiden Indonesia yang ketiga. Gibran secara personal adalah anak biologis Jokowi (putra sulung hasil perkawinan Jokowi dengan ibu Iriana). Tetapi sebagai walikota Solo, Gibran adalah putra politis Jokowi. Ia memenangi dengan mudah ajang pemilihan Wali Kota Solo pada tahun 2020 lalu karena faktor kekuasaan sang bapak sebagai Presiden. Sebuah gejala nepotisme telanjang yang sangat dimusuhi di era Orde Baru lalu.
Sebaliknya Gusdur merupakan putra bapaknya Wahid Hasyim dan cucu kakeknya Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama. Gusdur memperoleh kekuasaan politik sebagai presiden ke tiga Republik Indonesia karena faktor integritas ketokohan, intelektualitas dan keulamaan. Dia menang telak mengalahkan Megawati pada pemilihan presiden di MPR hasil pemilu demokratis di awal era reformasi tahun 1999. Tetapi persamaan keduanya, sama-sama pernah berkuasa.
Kekuasaan memang menarik sehingga setiap orang berlomba meraihnya, dan langkah ini disebut politik.
Menurut Noccolo Machiavelly dan Max Weber politik tidak lain adalah kepentingan merebut, memiliki dan menpertahankan kekuasaan (Budiono Kusumohamidjojo, 2020). Setidaknya pengertian ini dapat disematkan pada Indonesia sebagai negara transisi demokrasi. Segala sesuatu dalam politik menjadi mungkin apalagi tidak didukung oleh peraturan yang kuat. Proses demokratisasi masih pada tahap demokrasi procedural di mana kekuasaan menjadi lebih dominan, sangat berpotensi mengeleminasi kedaulatan rakyat dan memperkuat polariasi politik di segala level.
Kekuasaan dalam ruang demokrasi seharusnya diperuntukkan sebagai alat mempercepat proses menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, namun berubah ibarat matahari yang panas. Kukuatan dengan gravitasinya menarik benda-benda seperti planet-planet di sekelilingnya. Bedanya dengan demokrasi Indonesia, palanet-planet di sekitar matahari secara natural memiliki gravitasi yang kuat hingga tak terseret daya tarik matahari. Sebaliknya, para politisi, baik di kelembagaan politik formal, DPR, elit partai, hakim MK, bahkan rakyat jelata tidak memiliki integritas moral yang kuat, hingga terseret arus kepentingan kekuasaan.
Rasionlitas Vs Kekuasaan.
Etika politik adalah filsafat moral yang berkaitan dengan dimensi kehidupan politik (kekuasaan) manusia (Franz Magnis-Suseno, 2015). Ia didasari rasionalitas dan terhubung dengan perangkat aturan yang disebut konstitusi. Pada basis konstitusi etika politik bernegara diatur sedemikian rupa agar nation interest (kepentingan nesional) tidak terabaikan oleh ambisi para politisi yang berkuasa. Sebab, pengabaian konstitusi merupakan sebuah penghianatan terhadap negara dan rakyat secara keseluruhan. Untuk itu, pasal demi pasal dalam konstitusi ditulis serasional mungkin untuk memudahkan warga dan para penyelenggara negara memahami dan melaksanakannya. Namun dalam permainan politik unsur-unsur rasionalitas konstitusi dapat diselaraskan oleh kekuasaan mengikuti selera mereka. Bahkan bila perlu melalui tangan kekuasaan, segala ketentuan yang ada bisa diubah untuk memuluskan ambisi kelompok tertentu.
Kasus penetapan Gibran sebagai Cawapres menurut mantan ketua MPR dan juga lokomotif reformasi Amin Rais adalah sebuah permainan politik paling kotor sepanjang jalannya reformasi. Rasionalitas warga negara dibenturkan dengan arogansi kekuasaan yang menghalalkan segala cara melalui tangan kekuasaan politik sang presiden. Tidak ada etika bahkan nurani sekalipun yang dapat menjustifikasi langkah-langkah politik Presiden Jokowi dan keluarganya. Berbagai motif dengan segala macam kepentingan elit politik dan para pendukungnya mengambil bagian dalam proses pencalonan Gibran sebagai cawapres.
Motif adalah anasir yang melatari sikap, tindakan dan cara mengambil keputusan. Dalam konteks politik nasional, segala tindakan politik dari awal mudah dibaca. Berdasarkan studi sosiologis, kalangan pendukung behaviorisme seperti George Herbert Mead (1934/ 1962) memandang bahwa tindakan manusia terdiri dari aspek-aspek tindakan yang jelas dan tersembunyi. Di sini terlihat Presiden Jokowi menginginkan soft landing tanpa gesekan di sesi akhir jabatannya. Untuk itu segala sesuatu harus dipersiapkan dengan matang. Diduga dia menyadari terlalu banyak melakukan pelanggaran konstitusi, yang dapat berbuah petaka baginya dan keluarganya bila tidak lagi berkuasa. Untuk kepentingan itu, jalan yang paling selamat adalah mengorbitkan putra mahkota yaitu Gibran sebagai Cawapres. Sementara Prabowo ingin menang mudah dengan mengambil Gibran sebagai wakilnya. Prabowo meyakini seluruh kekuatan Jokowi sebagai Presiden, mulai dari TNI, Polri, plt Kepala Daerah, ASN, media, dan sebagainya dapat dipergunakan memuluskan jalannya meraih kemenangan.
Akan tetapi langkah politik ini dipandang absurd oleh masyarakat. Bagaimana dapat diterima logika atau ‘akal sehat’ seperti yang dipopulerkan Rocky Gerung, Gibran yang oleh banyak orang dianggap tidak layak karena terlalu muda dan belum berpengalaman dalam mengelola pemerintahan.
Sepakterjangnya sebagai Wali Kota Solo yang baru berumur dua tahun lebih tanpa prestasi apa-apa, ditengarai tidak memadai sebagai modal mengelola negara sebesar Indonesia. Fakta ini membuat orang sulit menerima langkah politik Prabowo memilih Gibran, padahal masih banyak tokoh senior atau ketua partai dan elit pendukung yang lebih berpengalaman dalam segala hal. Sebut misalnya Erlangga Hartarto Ketua Golkar partai tua yang berpengalaman puluhan tahun bersama rezim Orde Baru. Zulkifli Hasan Ketua Umum PAN sebagai partai reformasi. Dan Yusril Ihza Mahendra ketum PBB yang sangat berpengalaman serta ahli tata negara sebagai pejabat di masa lima presiden Republik Indonesia sejak era Suharto hingga SBY. Sekali lagi pilihan Prabowo pada sosok Gibran sangat tidak masuk akal.
Lantas mengapa Prabowo ngotot menggandeng Gibran? Karena Prabowo berambisi kuat pada kekuasaan, setidaknya dibuktikan sudah kali ke empat dia bertarung sebagai Capres-cawapres. Sekalipun pilihannya tidak rasional, baginya tidak jadi soal, yang penting menang pemilu dan berkuasa. Begitu juga motif utama elit politik mendukung Prabowo, mendapatkan bagian kekuasaan seperti jabatan menteri, direksi BUMN dan lain-lain bila pasangan Prabowo-Gibran menang. Atau yang masih mungkin diraih di satu tahun terakhir kekuasaan Jokowi hingga lengser. Ada pun keputusan MK meloloskan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menambahkan ketentuan “syarat minimal.
Capres-cawaprwes tidak mesti berusia 40 tahun jika sudah pernah menjadi kepala daerah,” adalah bentuk lain nepostisme politik kekuasaan.
Kekuasaan dapat mengalirkan keuntungan dan kenikmatan bagi para pemujanya. Sebaliknya petaka dan penderitaan bagi yang menentang, yaitu kelompok idealis yang masih punya nurani. Kita menyaksikan, serangan dan penghancuran terencana bangsa Palestina oleh Israil, adalah bentuk arogansi kekuasaan despostisme. Israil yang merasa sangat berkuasa dengan kekuatan militer dan dukungan Amerika serta sekutunya, tidak saja melakukan genoside tetapi menjalankan politik apartheid terhadap rakyat Palestina. Masyarakat dunia bahkan PBB tidak berkutik karena kekuasaan mampu mengendalikan hukum global dengan hak veto.
Membunuh anak-anak, menyerang rumah sakit, menghancurkan rumah ibadah, dan perkampungan dengan senjata pemusnah massal adalah kejahatan perang yang melanggar hukum internasional. Menggunakan kekuatan seluruh jaringan dan perangkat hukum yang ada untuk mengalahkan lawan yang lemah adalah sebuah kejahatan. Kemudian melalui media menuduh orang yang membela diri dan kehormatannya dengan stigma negatif sebagai teroris. Semuanya dilakukan atas nama kekuasaan yang mengoyak nurani, rasionalitas dan rasa keadilan.
Nurani kemanusiaan berdasarkan nilai moral tidak akan pernah menerima kejahatan bangsa yang lebih kuat dengan tidak adil menganeksasi yang lemah. Dan itu dilakukan oleh Yahudi terhadap bangsa Palestina. Hal yang sama ketika kekusaan dimanfaatkan untuk meraih keuntungan politik, menggunakan segala cara bahkan memperalat hukum sebagai benteng keadilan seperti MK, merupakan bentuk arogansi kekuasaan despotis yang merobek nurani kemanusiaan dan rasionalitas. Israil dan rezim Presiden Jokowi memiliki unsur kesamaan dalam banyak hal, sama-sama merupakan kekuasaan despotis dalam ruang politik yang berbeda. Sama-sama menggunakan perangkat hukum melanggengkan kekuasaan. Sama-sama ingin mewariskan kekuasaan dengan cara manipulatif.
Dan sama-sama menggunakan seluruh elemen kekuasaan untuk membunuh nurani keadilan, rasionalitas dan membuang etika politik dari panggung kehidupan manusia.
Kita masih dapat menyelamatkan peradaban dari kekuasaan despotis yang mengakibatkan kehancuran, dengan cara bersama-sama membangun etika politik. Menggunakan rasionalitas untuk menegakkan integritas kemanusiaan. Dengan nurani mengendalikan diri dari ambisi kekuasaan yang tidak proporsional. Kemudian menempatkan rasa malu sebagai manusia. Karena rasionalitas dan rasa malu adalah piranti yang membedakan kita dengan makhluk Tuhan lainnya.
Binjai, 25 Oktober 2023
Penulis adalah Pimpinan Pusat Majelis Mujahidin dan Pengamat Sosial-Politik.