Medan | medansumutpos.id Universitas Islam Negeri (UIN) Sumut mengelontorkan dana senilai Rp32 miliar membeli tanah seluas 100 Ha beralas hak bodong, di Desa Sena Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang. Lahan itu dibeli dari PTPN II dengan dasar SK10 bukan HGU yang merupakan bukti kepemilikan aset yang kuat.
Tanah ini dibeli pada tahun 2020 dengan membentuk tim pengadaan tanah UIN Sumut, Diantaranya Dr. Nursapiah Harahap MA, Dr. Syafaruddin, Dr. Fauziah Lubis MHum, Dr.Muhammad Husni Ritonga MA, Arginta dan Abdul Basid Lubis.
Tanah yang terletak di deretan belakang kantor Desa Sena itu awalnya sempat dipasangi plank, namun kini lenyap. Bahkan, menurut informasi dari masyarakat di sekitar lokasi mengatakan bahwa batas lahan yang diklaim telah dibeli UIN Sumut itu baru diukur beberapa hari.
Salah seorang tim pengadaan tanah UIN Sumut yang dihubungi wartawan Rabu (14/9/2023) sore tidak mampu menjelaskan soal alas tanah awal yang mereka beli. Meskipun begitu ia bersikeras membenarkan transaksi pembelian tanah tersebut.
“Atau jumpa langsung sama wr 3 sebagai ketua tim adinda akan dapat penjelasan. Kalau adinda lebih faham jelaskan sama KK. Manatau kita berbeda dalam memahami peraturan,” ungkapnya melalui pesan WhatsApp.
Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Indonesia, Tua Abel Sirait, Kamis (14/9/2023) mengatakan bahwa kasus pembelian lahan UIN Sumut sama seperti kisah pembelian sport centre yang menggunakan alas hak tanah bodong.
Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, tidak pahamnya pihak yang membeli dalam membedakan antara HGU dengan SK HGU. Bahkan, di lokasi Desa Sena belum pernah sekalipun terbit HGU. Kedua, memang diciptakannya permainan agar mendapat keuntungan.
“Tanah itu alas haknya bodong. Sama seperti kasus sport centre. Akhirnya kan izin membangun atau izin apapun gak bisa terbit,” tegas Abel.
Lanjut Abel, jika benar UIN Sumut telah membeli lahan tersebut secara sah, tentu ada bukti setor pembayaran berupa rekening koran bukan kwitansi, dasar alas hak tanah yang diterbitkan, dan batas tanah harusnya telah jelas dengan patok yang akurat.
Sementara itu, Pakar Agraria, Dayat Limbong menjelaskan bahwa SK 10 bukanlah bukti kepemilikan aset. Dokumen itu merupakan draf yang berisi syarat-syarat untuk dipenuhi pemohon sebelum diterbitkannya HGU.
“SK 10 itu masih proses, jadi belum bisa digunakan untuk mengklaim itu tanah siapa. Sebab itu bukan bukti sah kepemilikan,” terangnya. (Tim/Red)